“Dik, Apakah kematian datang dengan tiba-tiba?”. Kata beliau menyambung pembicaraan setelah berkenalan dengan tidak resmi. Saya terperanjat, pertanyaan yang tidak terduga, sangat dalam. Apalagi kepada saya yang tidak pernah berpikir tentang kematian. Sesaat saya terdiam, mencari jawaban. Otak saya bekerja lebih untuk mencari jawaban itu.
“Iya…” jawab saya, ragu-ragu sambil menatap mata beliau.
“Dik, Kematian itu datang perlahan. Sangat perlahan bahkan sampai kita tidak sadar bahwa setiap hari sebenarnya kita sedang menjalani proses kematian”. Kata beliau sambil memandang gulungan ombak selat Alas Sumbawa.
Mulut saya terbungkam. Sayapun juga akhirnya memandangi ombak, berharap ada inspirasi untuk sekedar menyambung pembicaraan yang terputus.
“Pernah” jawab saya dengan cepat.
Beliau melanjutkan
“Kamu sekarang masih muda, masih kuat dan segar, semua anugerah yang ada pada tubuhmu masih berfungsi dengan normal. Tapi Dik, Allah akan menarik semua yang kamu miliki sekarang dengan perlahan. Sedikit demi sedikit semua fungsi yang tadinya sempurna akan dikurangi. Mata yang kamu miliki sekarang akan rabun, telinga tidak tajam lagi untuk mendengar, dan mungkin perlu alat bantu. Gigi menjadi ompong, tubuhmu akan perlu tongkat untuk berjalan. Bahkan mungkin perlu dibopong untuk berpindah tempat. Itulah proses kematian itu. Kita semuanya, suka atau tidak suka akan menerima dan itulah kematian secara perlahan. Itulah proses kematian yang sebenarnya, seandainya kita semua mau memahami”.
Kembali saya tertegun. Makna itu akhirnya tersingkap, saya termasuk orang yang tidak mau memahami proses kematian yang perlahan itu. Pelajaran sangat berharga tentang kematian yang tidak pernah saya dapatkan kecuali pada hari itu, dimana dengan izin Allah kami dipertemukan di atas kapal, di tengah laut dengan deburan ombaknya, suara camar dan bising mesin serta celoteh-celoteh penumpang lain yang mencoba membunuh rasa bosan diperjalanan.