Archive for November, 2010

>Selamat Hari Guru, Bung!

>

Sekarang, pada hari ini, ucapan Selamat Hari Guru, tidak saya ucapkan kepada Para guru, tetapi pada hari ini, saya mengucapkannya pada diri saya sendiri. Sebagai refleksi sekaligus menjadikan pertanyaan kepada saya, apakah benar saya ini seorang guru dan apakah pantas saya menyandang nama besar guru?.
Dulu saya tidak pernah bercita-cita menjadi guru. Pikiran saya, Orang tua sudah menjadi guru geek, paman dan bibi saya hampir semuanya adalah guru. Oleh karena itu, saya ingin memiliki pekerjaan lain, yang tidak ada hubungannya dengan dunia didik mendidik.
Tetapi perjalanan waktu membuat saya “terjerumus” menjadi guru. Setelah lulus dan mendapat gelar sarjana, oleh orang tua saya, saya dipaksa untuk menjadi guru. Mulai menjadi Guru Kontrak, kemudian naik status menjadi Guru Bantu, terus menjadi Guru PNS. Sekarang saya sangat menikmati perjalanan karir menjadi guru, serta terus menerus mengucap syukur karena menjadi guru.
Dunia guru adalah dunia belajar, dunia dinamis dengan ilmu pengetahuan yang harus terus menerus baru, dunia yang penuh dengan dinamika. Hal ini yang membuat saya merasa betah untuk tetap terus berada di dalamnya. Saya sangat merasa fresh jika sudah bertemu dengan siswa saat mengajar, mereka memberikan energi buat saya untuk tetap terus belajar dan menguasai teknologi.
Saat kuliah, saya mencermati, banyak mahasiswa yang mengambil Fakultas/Jurusan keguruan, sangat malu untuk mengakui keberadaan Fakultas/Jurusan yang diambilnya. Perasaan minder akibat dari ilmu keguruan dianggap ilmu rendahan oleh fakultas/jurusan lain. Bahkan ketika menjadi gurupun, pada umumnya dianggap pekerjaan rendahan. Degradasi profesi ini sangat mencolok, dan pada bukan merupakan pilihan hidup untuk masa depan yang menjanjikan.

Dan tibalah pada satu waktu, pemerintah lebih memperhatikan nasib guru, martabat guru diangkat, salah satunya dengan memberikan penghargaan gaji sertifikasi pendidikan sebanyak satu kali gaji pokok. Efeknya kemudian adalah, di kampung saya, Sekolah Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan keguruan, mahasiswa dan mahasiswinya melimpah ruah sampai-sampai daya tampungnya tidak mencukupi. Ruaarrr Biasa……
Tetapi yang menjadi pertanyaan sekarang, adakah diantara para mahasiswa/i itu yang benar-benar terpanggil jiwanya untuk benar-benar mengabdikan dirinya untuk memberi pencerahan kepada anak didik, atau hanya sekedar ingin mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan di atas Pegawai Negeri lainnya.
Jika memang seperti itu, bisa dipastikan pendidikan di bumi pertiwi ini tidak akan beranjak maju. Dalam pandangan saya, orang-orang semacam itu merupakan pengabdi-pengabdi semu dan Saya merasa prihatin jika hal itu terjadi.
Guru adalah seorang pejuang yang pantang menyerah. Bekerja atas nama pengabdian dan memberikan persembahan terbaik untuk menghancurkan segala macam kebodohan. Ketika otonomi daerah berdengung, sangat banyak guru yang meninggalkan tugas utamanya sebagai pendidik dan mendalami politik praktis untuk mendapatkan kekuasaan. Pada titik ini, saya merasa heran. Ilmu yang dimiliki oleh seorang guru belum maksimal dieksplorasi untuk kemajuan pendidikan, kemudian mereka berkecimpung untuk sesuatu yang absurd. Jika saja masing-masing guru menyadari ketika ilmu dikembangkan secara maksimal, secara otomatis kekuasaan dan nama besar akan ada dalam genggaman.
“Selamat hari guru bung”, kalimat yang saya ucapkan untuk diri saya sendiri, untuk memberikan tanda kepada saya bahwa saya telah masuk dan berpusar di dalamnya, sekaligus kalimat untuk menjewer kuping saya, untuk tidak keluar pada lingkaran dimana perjuangan untuk mencerdaskan diri tidak akan pernah padam.

>Sumiati Pulanglah, Mari Kita Kitari Lembah Sawah!

>

Cerita miris tentang TKW sering saya dengar, saya baca. Diskusi dengan teman-teman, banyak yang tidak setuju dengan kepergian para wanita untuk mencari nafkah di luar negeri. Ada banyak yang menjadi titik tolak ketidaksetujuan mereka tentang masalah ini. Tetapi teman diskusi saya itu kebanyakan adalah orang-orang yang sudah mapan dibidang pekerjaan yang mereka geluti.
Ketika berbicara dari sisi humanis, adalah sangat wajar apabila orang ingin hidup layak, sejauh didapatkan dengan cara yang halal dan tidak melanggar norma. Para TKW yang berjuang mencari nafkah tentu mengejar salah satu sisi humanis dari manusia, Pingin Hidup Layak!.
Tetapi pilihan untuk hidup layak untuk masing-masing person sangatlah beragam. Bagi yang berpendidikan tinggi atau yang memiliki keterampilan (skill) akan memiliki banyak pilihan pekerjaan. Cobalah saat ini, kita menjadi orang lain dan berbeda dengan kondisi sosial kita sekarang. Cobalah menjadi Sumiati, atau para TKW lain yang saat ini berjuang untuk memerdekakan keluarga mereka dari kemiskinan. Pengorbanan mereka ketika jauh dari keluarga dangan satu cita-cita dan tentunya juga dengan doa untuk dapat dibebaskan dari belenggu kemiskinan.
Ketika mereka diberi pilihan hidup, jadi TKW..atau jadi TKW…atau jadi TKW atau kondisi keluarga tetap miskin. Mereka tidak memiliki keahlian lebih, hanya mengandalkan kemampuan untuk mengurus anak, mencuci, seterika dan segala pekerjaan rumah tangga lainnya, yang didapatkan dari naluri alamiah semata. Lalu pekerjaan apa yang cocok buat mereka?? Ya, menjadi Pembantu Rumah Tangga (PRT).

Ketika Sumiati berangkat meninggalkan tanah air untuk menjadi TKW, segala pengharapan ada di dalam pikirannya, begitu juga pikiran dari orang tua, saudara-saudaranya, yang mungkin saja pada saat ini memiliki cita-cita yang wajar. Cita-cita seperti yang dimiliki oleh orang-orang normal pada umumnya. Plaster rumah yang masih terlihat bata merah, membeli sawah, dan lain sebagainya.
Kenyataan sangatlah pahit, Sumiati yang saya lihat fotonya di televisi secara sekilas, sebelum berangkat adalah wanita hitam manis dengan muka bundar dan tubuh yang bagus, telah menjadi seperti mayat hidup, dengan muka dan badan tidak beraturan akibat disiksa oleh Arab bahlul, sialan dan kurang ajar itu.
Sumpah serapah dan caci maki, tanpa sadar keluar di bibir saya ketika menyaksikan tayangan di televisi tentang kondisi Sumiati yang sangat mengenaskan. Siapapun pasti akan merasa geram dan marah jika melihat hal seperti itu. Saya merasa sangat terenyuh, sedih dan pingin menumpahkan emosi dan bogem mentah seandainya berhadapan dengan Dajjal dari Arab itu.
Moga cepat sembuh!. Cepatlah pulang. Di sini kan sama juga tandus seperti di Arab sana dan tetanggamu di sini pastilah orang yang sangat ramah dan saling menghormati. Pulanglah dan kembalilah bermimpi, bersama-sama naik benhur, berjalan di pematang sawah, memetik jagung, kegiatan yang pasti tidak bisa kamu lakukan di perantauan sana.
Hidup tenang, tentram dan damai di kampung…