>
Sekarang, pada hari ini, ucapan Selamat Hari Guru, tidak saya ucapkan kepada Para guru, tetapi pada hari ini, saya mengucapkannya pada diri saya sendiri. Sebagai refleksi sekaligus menjadikan pertanyaan kepada saya, apakah benar saya ini seorang guru dan apakah pantas saya menyandang nama besar guru?.
Dulu saya tidak pernah bercita-cita menjadi guru. Pikiran saya, Orang tua sudah menjadi guru geek, paman dan bibi saya hampir semuanya adalah guru. Oleh karena itu, saya ingin memiliki pekerjaan lain, yang tidak ada hubungannya dengan dunia didik mendidik.
Tetapi perjalanan waktu membuat saya “terjerumus” menjadi guru. Setelah lulus dan mendapat gelar sarjana, oleh orang tua saya, saya dipaksa untuk menjadi guru. Mulai menjadi Guru Kontrak, kemudian naik status menjadi Guru Bantu, terus menjadi Guru PNS. Sekarang saya sangat menikmati perjalanan karir menjadi guru, serta terus menerus mengucap syukur karena menjadi guru.
Dunia guru adalah dunia belajar, dunia dinamis dengan ilmu pengetahuan yang harus terus menerus baru, dunia yang penuh dengan dinamika. Hal ini yang membuat saya merasa betah untuk tetap terus berada di dalamnya. Saya sangat merasa fresh jika sudah bertemu dengan siswa saat mengajar, mereka memberikan energi buat saya untuk tetap terus belajar dan menguasai teknologi.
Saat kuliah, saya mencermati, banyak mahasiswa yang mengambil Fakultas/Jurusan keguruan, sangat malu untuk mengakui keberadaan Fakultas/Jurusan yang diambilnya. Perasaan minder akibat dari ilmu keguruan dianggap ilmu rendahan oleh fakultas/jurusan lain. Bahkan ketika menjadi gurupun, pada umumnya dianggap pekerjaan rendahan. Degradasi profesi ini sangat mencolok, dan pada bukan merupakan pilihan hidup untuk masa depan yang menjanjikan.
Dan tibalah pada satu waktu, pemerintah lebih memperhatikan nasib guru, martabat guru diangkat, salah satunya dengan memberikan penghargaan gaji sertifikasi pendidikan sebanyak satu kali gaji pokok. Efeknya kemudian adalah, di kampung saya, Sekolah Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan keguruan, mahasiswa dan mahasiswinya melimpah ruah sampai-sampai daya tampungnya tidak mencukupi. Ruaarrr Biasa……
Tetapi yang menjadi pertanyaan sekarang, adakah diantara para mahasiswa/i itu yang benar-benar terpanggil jiwanya untuk benar-benar mengabdikan dirinya untuk memberi pencerahan kepada anak didik, atau hanya sekedar ingin mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan di atas Pegawai Negeri lainnya.
Jika memang seperti itu, bisa dipastikan pendidikan di bumi pertiwi ini tidak akan beranjak maju. Dalam pandangan saya, orang-orang semacam itu merupakan pengabdi-pengabdi semu dan Saya merasa prihatin jika hal itu terjadi.
Guru adalah seorang pejuang yang pantang menyerah. Bekerja atas nama pengabdian dan memberikan persembahan terbaik untuk menghancurkan segala macam kebodohan. Ketika otonomi daerah berdengung, sangat banyak guru yang meninggalkan tugas utamanya sebagai pendidik dan mendalami politik praktis untuk mendapatkan kekuasaan. Pada titik ini, saya merasa heran. Ilmu yang dimiliki oleh seorang guru belum maksimal dieksplorasi untuk kemajuan pendidikan, kemudian mereka berkecimpung untuk sesuatu yang absurd. Jika saja masing-masing guru menyadari ketika ilmu dikembangkan secara maksimal, secara otomatis kekuasaan dan nama besar akan ada dalam genggaman.
“Selamat hari guru bung”, kalimat yang saya ucapkan untuk diri saya sendiri, untuk memberikan tanda kepada saya bahwa saya telah masuk dan berpusar di dalamnya, sekaligus kalimat untuk menjewer kuping saya, untuk tidak keluar pada lingkaran dimana perjuangan untuk mencerdaskan diri tidak akan pernah padam.
Recent Comments