Archive for the ‘Sepeda’ Category

>Sepeda, Hobi, Dengkul…

>

KULIT wajah Hanny yang hitam berkilat memantulkan cahaya petromaks yang menyinari keringat di wajahnya. Bau tanah basah setelah hujan bersama turunnya malam menemani Hanny menyeruput teh manis di M’pok Cafe, sebuah warung di belokan Jalan Bumi Serpong Damai-Jombang.
Gadis berusia dua puluh tahun itu duduk santai di balai-balai warung. Asyik bercanda bersama Jajang, Wahyu, dan Ari, cerita pun mengalir. Mulai dari salah seorang kawan yang apel ke pacarnya di Malang dengan naik sepeda dari Jakarta hingga rencana mereka bersepeda gunung di malam hari. Tidak terlihat kalau beberapa menit lalu otot-otot mereka mengeras di atas sepeda, seiring turunan dan tanjakan sejauh 6,3 km di sekitar Desa Lengkong Gudang Timur, Jombang, yang kini masuk Provinsi Banten.
“Adrenalin,” kata Hanny singkat tentang alasannya bersepeda di alam. Risiko tercebur sungai atau nyungsep ke sawah dianggap biasa. Sebanding dengan kenikmatan pacuan adrenalin, misalnya, saat melihat longsoran tanah yang membentuk turunan curam berbelok. Apalagi ketika perjalanan dikelilingi hijaunya alang-alang, sawah yang membentang, udara segar, dan suara sungai mengalir di bawah jembatan bambu yang dilewati sepeda, lengkaplah sudah alasan Hanny untuk jatuh cinta pada sepeda gunung.
Hanny hanya salah satu dari penggemar sepeda gunung yang semakin hari semakin marak ini.
Ia sering berkumpul dengan komunitas Jalur Pipa Gas yang bermarkas di M’pok Cafe. Setiap Minggu, ada sekitar 200 penggemar sepeda yang mangkal di sana. “Enggak cuma di sini saja, di Jakarta, tuh, kira-kira ada 50 klub sepeda, mulai dari di kompleks-kompleks sampai di kawasan perkantoran seperti di Sudirman,” kata Kesawadjati, Ketua Komunitas Jalur Pipa Gas (JPG).
Acap bertemu di pinggiran kota, berbagai kelompok ini setiap Minggu bertemu untuk bersepeda. Sebut saja Chepot Cycling Club di kawasan Sasak Panjang, Bogor; kelompok Fuzzy Riders di Perumahan Villa Nusa Indah; kelompok Goestrust MTB Cycling Club di Pamulang; hingga KDS Andrenaline di Papua; dan berbagai kelompok lain penggemar kejutan adrenalin.
Umumnya mereka tidak ada lelahnya mencari tantangan baru dengan mencari jalan-jalan off road untuk ditaklukkan. Komunikasi dilakukan sedemikian terbuka. Kalau tidak dari mulut ke mulut, sebuah situs web menjadi sangat efektif. “Untuk biker’s Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang dan sekitarnya yang mau ikutan Down Hill di daerah Sentul, bisa kontak Mr Ogel’s 0816xxxxxx, kumpul di Restoran Padang sebelah kanan setelah pintu keluar tol Sirkuit Sentul. Jangan lupa siapkan helm dan body protektor-nya… see you… there… (… ada trek baru, untuk yang udah nyoba… ),” demikian isi posting di http://www.mtb-indonesia.com.
Kalau sudah bertemu, dunia mereka tidak lepas dari sepeda, sepeda, dan sepeda. Tujuan utamanya adalah bagaimana caranya agar bokong tidak pernah lepas dari sadel, seberat apa pun tantangan yang dihadapi. “Puas rasanya kalau bisa ngelewatin tanjakan atau turunan curam enggak pake nuntun,” kata Hanny.

Akibatnya, segala pernik dalam sepeda menjadi penting. Satu per satu bagian sepeda diperhatikan, ditambah, dikurangi, sesuai keinginan si empunya. Menurut Bagus dari Bagus Bike, Bike Shop & Accessories di Kompleks Ruko Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang, proses ganti-mengganti dan copot-mencopot inilah yang membuat orang semakin asyik melakoni hobi bersepeda.
Untuk bannya saja, sudah ada banyak pilihan. Mau memilih ban cross country yang sangat ringan dan langsing hingga ban untuk downhill (turun gunung) yang gemuk dan berat. Ada pula ban tanpa kembang (slick) hingga ban dengan kembang khusus untuk medan berlumpur. Pola kembang (tread patterns) ban sangat bervariasi dan terbagi dalam beberapa jenis dengan nama-nama spesifik, seperti slick, semislick, all-purpose knobbies, dan deep tread knobbies.
Itu baru ban. Belum lagi per sepeda, suspensi shock depan belakang, frame atau batangan sepeda, pelek, handle bar atau setang, crank atau poros gigi roda, sampai aksesori bersepeda, seperti celana, baju, helm, sepatu, dan tas punggung.
Masalah mahalnya onderdil dan pernak-pernik sepeda diakui oleh Donny Prodjokusumo dari Indonesia Mountain Biking Community. Donny yang serius bermain sepeda gunung, khususnya di cross country track sejak tiga tahun lalu ini, pada awalnya mengaku sempat terkaget-kaget dengan harga aksesori sepeda yang “aje gile mahal banget”. “Saya itu tadinya cuma mau cari spedometer digital. Lha, kok, harganya sampai satu juta. Kata penjualnya, harganya memang mahal. Orang sepedanya saja lebih mahal daripada sepeda motor,” ujar Donny sambil tertawa.
Yang jelas, bagi para pencinta sepeda yang serius, terutama yang main di jalur cross country, maka syarat utama adalah sepeda gunungnya harus ringan dan mampu digeber hingga kecepatan tinggi. “Kan, biasanya kita sering harus menggotong sepeda kalau track-nya sulit dilalui sepeda,” ujar Kesawadjati.
Bayangkan saja, untuk frame atau batangan rangka sepedanya saja harganya bisa mencapai Rp 9 juta. Kalau dirakit satu per satu menjadi komplet sebentuk sepeda, harganya bisa ditaksir mencapai sekitar Rp 15-20 juta. Sementara itu, kalau mau membeli sepeda gunung standar, yang belum dimodifikasi, harganya berkisar antara Rp 3-50 juta. “Ini hobi. Orang kalau sudah hobi pasti akan melakukan apa saja, tidak peduli berapa pun harganya,” ujar Bagus yang setiap bulan kedatangan sekitar 20-30 pelanggan ke bengkelnya.
Yang jelas, ketika para pencinta sepeda sudah menaiki sepedanya, pasti itu sudah menjadi sesuatu yang addicted (menimbulkan rasa ketagihan). “Kalau sudah kena sepeda gunung, pasti ketagihan,” ujar Donny sambil tertawa.
Bagi para maniak sepeda, sepeda memang sudah menjadi curahan kasih sayang. Lewat sepeda, mereka bahkan menemukan dunia di luar kehidupan mereka sehari-hari, baik dari segi lingkungan komunitas maupun alam bebas dekat, namun berbeda dengan deru kota besar yang setiap hari ditemui.
“Rasanya kalau sudah di atas sepeda dan menikmati angin, saya lupa bahwa Jakarta ini makin sumpek,” kata Mathias Muchus (46), aktor kawakan yang tidak jarang mencoba rute luar kota seperti Yogyakarta atau Bandung. Sebagai orang yang gila sepeda, ia tidak segan-segan bersepeda ke lokasi shooting. Bahkan, saat subuh ia pernah pulang dari lokasi shooting di Salemba dengan naik sepeda ke rumahnya di kawasan Bintaro. Setiap Sabtu dan Minggu, Mathias sering bersepeda menyusuri jalan sampai sejauh 60 km dari rumah ke Halim, Depok, atau Kemayoran. Itu dilakukannya bergantian.
Mathias mengaku, ia belajar mengelola emosi lewat bersepeda. Bersepeda mengajarinya kapan harus sprint, kapan harus berjalan pelan, kapan meninggalkan rombongan, dan kapan harus menyatu lagi. “Orang mengira saya sepeda untuk fun. Padahal, saya bersepeda tidak hanya untuk kebugaran fisik, tetapi juga emosi,” kata Mathias.
Hal serupa dikatakan Sekretaris Jenderal Ikatan Penggemar Sepeda Jakarta (IPSJ) Perry H Josohadisoerjo. Menurut dia, selain untuk kesehatan, bersepeda juga bagus untuk menghilangkan stres dan membina mental.
Selain bersepeda sendiri setiap hari Sabtu di kawasan Sudirman Central Business District, Perry bersama kawan-kawan IPSJ juga rutin bersepeda pada hari Minggu pagi sepanjang sekitar 60 km keliling Jakarta. IPSJ juga rutin mengadakan acara bersepeda keluar kota sebulan sekali, bahkan ke luar negeri setahun sekali. “Tahun lalu kita ke Belanda dan Inggris,” katanya.
Perry yang memiliki satu dari 62 edisi khusus sepeda Colnago hasil desain Ferrari yang tersebar di seluruh dunia mengatakan, salah satu enaknya bersepeda adalah tidak memancing kecemburuan sosial. “Hanya sedikit sekali orang yang tahu kalau sepeda ini mahal,” kata pemilik sepeda yang beberapa komponennya terbuat dari emas itu.
Perry mengakui, sebagian besar anggota IPSJ berasal dari kalangan menengah ke atas. Tidak heran kalau harga sepeda mereka berkisar pada bilangan Rp 40 juta.
Menurut Perry, harga itu layak untuk sebuah sepeda yang ringan, aerodinamisnya baik, nyaman. Namun, baik Perry maupun Mathias Muchus mengatakan, daripada sepeda mahal, yang penting adalah “dengkul” atau stamina si pengendara. Tanjakan dan panjangnya rute membawa hasil badan segar berkeringat. Sementara itu, pikiran pun segar dengan pemandangan baru dan senda gurau antar-anggota klub. “Mulai dari pemilik show room mobil yang gagap bahasa Indonesia sampai asisten menteri enggak tersinggung kalau cela-celaan,” kata Perry yang sudah inden dengan sepeda Colnago Ferrari keluaran beberapa tahun lagi.
Mungkin Freddie Mercury pun tengah naik sepeda ketika ide lagu Bicycle Race muncul di kepalanya:
Bicycle races are coming
your way
So forget all your duties
oh yeah …
I want to ride my bicycle
I want to ride it where
I like ….
(LUK/CAN/EDN…KOMPAS)

sumber berita klik di sini

Revolusi Sepeda Sentuh Kalangan Atas

SEPEDA baru kini bermunculan dengan beragam bentuk dan fungsi. Fungsi sepeda kini dijabarkan secara rinci dan kemudian diikuti bentuk serta spesifikasi yang sesuai. Misalnya saja sepeda gunung, ada yang didesain khusus untuk turun gunung (down hill), untuk naik dan turun gunung, serta cross country. Model dan spesifikasinya pun berbeda-beda.

Di luar itu masih ada sepeda balap, sepeda untuk santai (touring), bahkan sepeda statis yang tak bergerak ke mana-mana mesti digenjot keras. Sepeda yang disebut terakhir ini khusus untuk olahraga di rumah. Harga sepeda sekarang juga beragam, mulai dari sekitar jutaan, belasan, hingga puluhan juta rupiah. Di pasaran bahkan ada sepeda seharga sekitar Rp 60 juta per unit.

Sepeda seperti halnya mobil. Industri sepeda juga mengeluarkan model-model baru dengan sentuhan inovasi-inovasi terkini sehingga nyaman dikendarai. Bahan kerangkanya tidak hanya terbuat dari besi atau campuran baja seperti zaman dulu. Sekarang kerangka sepeda berasal dari bahan-bahan yang eksotis, seperti titanium, aluminium, dan serat karbon. Beratnya lebih ringan, tetapi lebih kuat dibandingkan dengan sepeda-sepeda dulu.

“Sekarang ini ada sepeda yang harganya mencapai Rp 60 juta,” kata Doni Projokusumo, penggiat Indonesia Mountain Biking Community (MTB Indonesia) yang berbincang-bincang dengan Kompas di Jakarta Jumat, 3 Juni lalu. Sepeda mahal itu menggunakan kerangka terbuat dari karbon fiber. Beratnya pasti ringan, sekitar 10 kg. Bisa ditenteng dengan satu tangan.
Sepeda gunung berkelas ini antara lain bermerek Canondale buatan Cannondale Bicycle Corp. Terakhir, perusahaan pembuat mobil Audi juga memproduksi sepeda yang diberi nama Audi Bicycle, Mountain Bike Cross Pro. Audi mematok harga sepeda per unit Rp 33 juta.
Frame sepeda gunung yang ditawarkan Audi terbuat dari aluminium dengan desain khusus untuk cross country yang full suspensi. Remnya menggunakan rem cakram, disk brake Magura Marta yang kuat mencengkeram. Cocok untuk digunakan dalam kota yang banyak sepeda motor dan mobil yang kadang-kadang berhenti mendadak.

Sepeda gunung umumnya menggunakan shokbreker, baik di bagian depan, tengah, maupun belakang. Sepeda buatan Audi juga demikian. Namun, Audi membuatnya sangat terbatas, hanya 200 unit. Perusahaan otomotif ini tampaknya tahu bahwa konsumen sepeda yang dibuatnya hanya untuk kalangan tertentu, yaitu kalangan menengah ke atas, orang yang tidak sayang membeli sebuah sepeda dengan harga puluhan juta rupiah.

Seperti dituturkan Doni dari komunitas MTB Indonesia, penggemar sepeda gunung atau MTB pada umumnya orang- orang mapan yang mempunyai penghasilan lumayan. Sebagai gambaran, para biker yang masuk dalam kelompok MTB Indonesia berusia antara 30 hingga 40 tahun. Mereka umumnya berpendidikan dan berpenghasilan memadai untuk kebutuhan hidupnya.
Memang jumlahnya tidak banyak Setidaknya jumlah mereka bisa dilihat melalui komunitas mereka yang sering mengirim pesan melalui jaringan internet. “Jumlah mereka yang aktif di internet sekitar 1.600 orang. Mereka aktif membuka e-mail dan website yang dikelola MTB Indonesia,” tutur Doni. Ke-1.600 biker itu tentu belum termasuk ribuan biker yang tersebar di Tanah Air yang tidak memanfaatkan internet sebagai sarana komunikasi.
Mereka itu adalah masyarakat konsumen sepeda gunung. Belum lagi pengguna sepeda biasa, bukan sepeda gunung yang banyak kita jumpai di permukiman-permukiman dan di jalan-jalan. Berbagai merek sepeda hadir di tengah masyarakat.
BERBAGAI sepeda telah hadir di tengah masyarakat sejak akhir tahun 1800-an. Masing- masing merek sepeda punya penggemar fanatik. Seperti sepeda Simplex yang diproduksi mulai tahun 1887 oleh kelompok usaha Simplex Automatic Machine Company di Utrecht, Belanda, sampai sekarang masih saja dicari-cari oleh penggemarnya atau orang-orang yang mendengar cerita tentang keunggulan sepeda itu.

Banyak orang yang mendapat cerita kehebatan sepeda-sepeda kuno, seperti Simplex, Fongers, Burgers, Gruno, Juncker, dan Gazelle, merasa penasaran untuk membuktikan kehebatan sepeda-sepeda itu. Pencarian dilakukan hingga ke bengkel- bengkel sepeda, ke desa-desa, tetapi dalam setahun belum tentu mendapatkan sepeda tua yang dimaksud.
Masih ada memang sepeda kuno, tetapi kebanyakan sudah berada di tangan kolektor. Dalam genggaman kolektor, sepeda kuno dihargai lebih mahal daripada sepeda baru. Seorang pemilik bengkel sepeda di Bandung Selatan mengoleksi sejumlah sepeda kuno. Beberapa di antaranya sepeda Simplex, Gazelle, dan Fongers.

Sepeda Fongers yang dimilikinya masih lengkap dan asli. Pelat mereknya juga masih menempel kuat sehingga meyakinkan orang-orang yang belum paham tentang sepeda sekalipun. “Berapa sepeda ini mau dijual,” tanya Kompas. Pemilik sepeda itu hanya tertawa kecil sambil mengelus-elus sepedanya.
“Sepeda ini pakaian saya. Sering saya bawa ke undangan perkawinan. Pernah ada yang menawar Rp 5 juta, tetapi tidak saya kasih. Sepeda saya yang satu ini tidak akan saya lepas. Enggak tahu ya kalau saya sudah mati, mungkin sepeda ini baru bisa dijual oleh keluarga saya,” papar pemilik sepeda yang membuka bengkel sepeda di bilangan Bale Endah, Bandung, itu.

Memiliki sepeda kuno bermerek terkenal tak ubahnya punya mobil antik. Ada sesuatu yang ingin dipamerkan untuk orang lain. Ke mana-mana menjadi perhatian orang. “Coba bawa sepeda ini ke pasar, dan berhenti, nanti kan banyak orang yang bertanya mengenai sepeda ini. Dan, ujung-ujungnya ditawar untuk dibeli. Kadang-kadang saya capek menjawabnya,” tutur H Soleh (55), pensiunan tentara yang tinggal di Bale Endah. Ia memiliki dua sepeda, masing-masing BSA dan Simplex. Sepeda kuno buatan Jepang, China, Inggris, dan Amerika Serikat juga tidak kalah menarik. Namun, mitos yang terbangun di Indonesia mengenai dalam produksi sepeda Jepang dan China tidak sehebat sepeda-sepeda buatan Eropa, seperti Inggris, Jerman, dan Belanda.
Bengkel sepeda kuno milik Sainin (57), di Kelurahan Gondrong, Kecamatan Cipondoh, Tangerang, menjual sejumlah sepeda buatan China dan Eropa. Menurut pengakuan Sainin, sepeda yang dicari-cari orang masih sepeda buatan Eropa. “Sepeda Eropa katanya terkenal kuat. Semakin lama semakin kuat,” tuturnya.
Pada umumnya sepeda kuno untuk santai, jalan-jalan sendiri atau bersama-sama. Belakangan komunitas sepeda kuno yang sering disebut sepeda ontel ini juga sudah terbentuk. Mereka kadang-kadang berkumpul pada hari Minggu di sekitar Monas, Jakarta.
Di tempat yang sama juga sering berkumpul komunitas sepeda gunung. Mereka ini biasanya menggenjot sepeda hingga pelosok pinggiran Jakarta. Tetapi banyak juga yang mengangkut sepeda mereka dengan mobil lalu dibawa ke Puncak, Cianjur, atau ke daerah Ciater, Subang. Setelah itu, mobil diparkir di suatu tempat, lalu sepeda digenjot menyusuri perkebunan teh di kawasan itu. Fantastis memang! (M Nasir …KOMPAS)

sumber bacaan di ambil dari situs MTB-Indonesia yang bisa diklik di sini

Dengan Sepeda Kami Melalui Negeri Ini

HandPhone saya bergetar diiringi suara Mbah Surip (alm) menyanyikan lagu “tak gendong”, yang saya gunakan sebagai nada dering. Nama Om Didi terpampang di layar HP saya. Tanda Accept saya tekan, seketika keluarlah suara Om Didi yang mengabarkan ada 2 orang pesepeda asal Belanda yang berjenis kelamin cewek yang datang berkunjung ke Sape, Bima. Bergegas saya datang ke rumah Om Didi dengan pakaian Bike to Work lengkap kebanggaan saya. Setelah ngobrol sebentar, kami berdua menuju hotel tempat ke dua cewek bule tersebut nginap.

Sambutan awal yang menyenangkan saya terima ketika berjabat tangan dan saling memperkenalkan diri. Arween De Graf nama cewek bule tersebut, berumur 36 tahun merupakan seorang advokat/pengacara di negaranya sana, dan berniat menghabiskan uang yang didapat selama dia bekerja untuk bersenang-senang dengan melakukan traveling ke berbagai negara.
wuihhh..alangkah bedanya dengan banyak pekerja di Indonesia, yang menutupi kebutuhan sehari-hari harus tetap ngutang karena memiliki penghasilan yang sangat minim. Jadi untuk melakukan perjalanan seperti mereka adalah mimpi bagi sebagian besar penduduk Indonesia.

Beberapa saat kemudian, muncul gadis cantik bermata agak kebiru-biruan berkulit sangat putih menghampiri kami. Jolien namanya. Seorang mahasiswi, selengkapnya bisa dibaca pada blognya di sini. Bersama Arween melakukan traveling menggunakan sepeda untuk keliling Indonesia.
Percakapan bertambah seru, saling berbagi informasi, berbagi cerita tentang aktivitas sehari-hari, berbagi pengalaman dan lain sebagainya.

Pukul 12.00 Witeng, berempat mengendarai sepeda kami masing-masing, menuju ke salah satu resto yang ada di dekat pelabuhan Sape. Kami memesan makanan dan sayuran yang berbahan daun singkong. Sengaja kami memesan sayuran tersebut karena merupakan makanan favorit ke dua cewek bule tersebut.
Sambil menyantap makanan kami menyusun rencana untuk berkeliling di kampung-kampung kecil yang ada di Kecamatan Sape dan Lambu, untuk melihat lebih dekat kehidupan dan aktivitas masyarakat yang berada di dua kecamatan tersebut. Tak lupa kami menyusun rencana untuk bersepeda menuju pantai. 😉

Jalan Turun Menuju Pantai

Selesai bersantap, istirahat sebentar untuk melanjutkan diskusi tentang rute yang akan ditempuh.
Sekitar Pukul 14 siang, kami mulai bersepeda dengan rute yang telah kami rencakan tadi. Cuaca cukup panas, matahari bersinar terik, tapi tidak menurunkan semangat saya dengan Om Didi untuk menjadi guide, memperkenalkan adat istiadat masyarakat Sape dan Lambu. Rute yang kami tempuh dari arah pelabuhan menuju arah utara, menyusuri jalan beraspal yang membelah sawah yang luas.
Sambil bersepeda dengan formasi 2 – 2 kami jalan beriringan, sambil bercerita tentang jenis-jenis tanaman yang ditanam masyakarat setempat, memperkenalkan kehidupan bercocok tanam para petani, melihat hasil panenan bawang, memperkenalkan daun singkong yang belum dipetik. Mereka agak surprise ketika melihat bentuk tanaman singkong, bahkan beberapa daun mereka bawa dan simpan untuk dijadikan kenang-kenangan. Ah, dasar bule…hal-hal seperti itu saja dijadikan suvenir :).

Perjalanan dilanjutkan menuju perkampungan penduduk. Desa Lanta Kecamatan Lambu yang kami pilih untuk berkunjung, karena di Desa tersebut banyak terdapat minuman khas dari pohon sejenis Palem yang dalam bahasa Bimanya biasa disebut Ta’a.
Istirahat di salah satu rumah penduduk, sambil menikmati minuman Oi Ta’a (minuman yang di ambil dari pohon sejenis palem) yang segar, membasahi kerongkongan kami yang kehausan karena lelah bersepeda.

Bule masuk kampung, begitulah yang terjadi. puluhan anak-anak kecil berkerumun ingin melihat langsung bagaiamana bentuk dan rupa cewek bule yang berkunjung ke kampung mereka, dengan mata berbinar dan keheranan mereka memperhatikan gerak-gerak tamu yang sangat asing dan belum pernah mereka temui

Arween Menikmati Oi Ta’a.

Jolien Menikmati Oi Ta’a

Tidak hanya anak kecil, para orang tua yang bertetanggaan dengan rumah tempat kami istrihatpun berdatangan. Celetukan-celetukan mereka dalam Bahasa Bima membuat saya tersenyum sekaligus miris. Mereka sangat ingin menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang yang sangat tinggi, biar seperti bule-bule itu, menikmati semua perjalanan ke semua tempat yang ingin dikunjungi. Memang memprihatinkan hidup di bawah garis kemiskinan.
Perjalanan kembali dilanjutkan. Trip berikutnya menuju pantai. Trip ini yang paling sulit, karena harus melewati beberapa bukit yang lumayan menguras energi jika dilalui menggunakan sepeda. Kami terpaksa menuntun sepeda karena sudah tidak mampu lagi untuk mengendarainya. Capek??, pastilah. Tetapi karena tamu harus dihormati, rasa capek tersebut diusir jauh-jauh.
Setelah naik turun bukit, tibalah kami di pantai terdekat yang berada di Kecamatan Lambu. Penat yang menghimpit kami berempat seketika hilang ketika menikmati pemandangan pantai yang tenang. Suasana syahdu terasa karena sore menghadirkan matahari yang bersahabat, laut yang hangat. Kami menikmati suasana ini sangat lama. Berdiskusi dan bercanda, foto bersama dan minum Oi Ta’a itulah yang kami lakukan sambil duduk di pinggir pantai.
Pukul 19.30 witeng, kami berkemas dan melanjutkan perjalanan untuk pulang. karena ke empat sepeda tidak memiliki lampu penerang, terpaksa penerangan dilakukan ala kadar dengan menggunakan lampu senter yang terbundel langsung dengan handphone merek Nokia. Sambil menuntun sepeda, kami bernyanyi lagu dari Eric Clapton.
Banyak pelajaran yang saya petik dari bule cewek ini. Seperti bagaimana menjaga kebersihan. Om Didi pernah ditegur karena membuang botol minuman sembarangan. Sesuatu yang mungkin tidak terpikirkan bagi sebagian besar orang Indonesia. Bagaimana budaya Belanda, yang meskipun sudah dijajah selama 360 tahun, sumpah mati banyak generasi Indonesia yang tidak mengerti seperti apa budaya Belanda.

Om Didi, Jolien, Me and Arween

Ya, dengan sepeda kalian telah mengunjungi desa kami, biar kalian melihat seperti inilah kami, masih bergelut dengan kemiskinan dan penderitaan, melihat lebih dalam dan lebih ke dalam. ternyata kami belum bisa seperti kalian! Moga kami lebih cepat bangkit, dan untuk anda berdua selamat berkunjung ke Indonesia di bagian yang lain.
Sampai jumpa lagi.

Selamat Jalan Kawan, Sampai Ketemu Pada Waktu Yang Bukan Hari Ini, Pada Waktu Yang Entah Kapan

Minggu malam tanggal 3/10/2009, pukul 20.00 WITA, Saya bersama Om Didi beranjangsana menemui Yunara dan Rahma. Yang ada di benak saya pada saat itu, bagaimana menghubungi kawan yang bekerja di PT. ASDP (Persero) untuk mendapatkan tiket gratis keberangkatan Rahma dan Yunara menuju Labuan Bajo, NTT. Sebagai tuan rumah, tentu ingin memberikan yang terbaik kepada tamu yang berkunjung, apalagi yang berkunjung ini adalah sepasang suami istri yang sangat istimewa di mata saya.
Saya gelisah, saat Om Didi asyik berbincang-bincang dengan mereka, saya berjalan dari Hotel menuju kantor ASDP. Nomor HP rekan saya itu, tidak saya miliki. Setelah tanya orang-orang yang nongkrong di sekitar pelabuhan, ada setitik informasi yang berharga. Berdasarkan keterangan mereka, saya mengetuk kaca loket, meskipun loket tutup. Lama menunggu, akhirnyan gorden loket sedikit disibak oleh seseorang di dalam. Saya melambaikan tangan untuk menarik perhatian. Lampu memang agak redup pada tempat saya berdiri, sehingga wajah saya tidak terlihat dengan jelas. Saya memanggil namanya, eh ternyata memang rekan saya yang ada di dalam. Bergegas Ia membukakan pintu kantor dan mempersilahkan saya masuk. Setelah duduk di ruang kerjanya, Saya menceritakan tentang keberadaan Rahma dan Yunara dan tujuan mereka yang akan menyeberang ke NTT. Respon yang sangat bagus saya terima, beliau akan mengusahakan tiket gratis, meskipun bukan pada kapal ferry yang beliau tangani. Wuih, lega rasanya. Setelah mengucapkan terima kasih, saya kembali ke hotel dan memberitahu kepada Oom Didi tentang berita gembira ini.

Keesokan harinya, MInggu, 4/10/2009, pukul 07.00 WITA, kami berempat, Saya, Oom Didi, Bli Dewo dan Bli Jena, dua orang terakhir merupakan Polisi dan anggota baru B2W Bima, bersepeda menuju hotel. Kami berencana mengawal Rahma dan Yunara menuju pelabuhan penyeberangan. Sesampai di hotel, sepasang suami istri itu telah siap dan sudah menggandeng sepeda ke halaman. Setelah mengabadikan pertemuan dengan foto-foto bersama, Om Didi mengajak sarapan pagi.
Pukul 08.00 WITA, seruling kapal berbunyi. Perpisahan semakin dekat, perpisahan sudah diujung mata. Kamipun mengantar mereka menuju pemeriksaan tiket. Berjabat tangan dan berpeluk erat sebagai tanda perpisahan telah kami lakukan. Saya terharu saat mereka mengayuh sepeda memasuki perut kapal. Perjalanan panjang telah mereka mulai lagi. Kawan, tidak seperti yang kalian lihat di tanah Jawa dan Bali yang sangat makmur dan subur, penuh dengan fasilitas, jalan mulus, lampu penerangan di sepanjang jalan. Seperti inilah daerah kami dan daerah-daerah di timur lainnya yang akan kalian lalui, semoga menjadi perjalanan yang berharga dan bisa melihat Indonesia dengan rupa yang sebenarnya. Maafkan kami, jika tidak bisa menjamu dengan baik. Ah..Pertemuan yang singkat memang, tetapi sangat berkesan. Saya mendapat pelajaran yang sangat berharga saat berbincang dengan mereka berdua.
Selamat jalan kawan, semoga mimpi bisa terwujud. Sampai ketemu pada waktu yang bukan hari ini, pada waktu yang entah kapan.

Rahma dan Yunara

Tiba-tiba saja telepon Om Didi berdering. Senja itu, Saat kami sedang kongkow, meneguk kopi sambil menikmati suasana sore di salah satu rumah makan di Sape.
Di ujung telepon terdengar seorang laki-laki bersuara agak berat (saya mendengar, karena Om didi menggunakan speaker phone) mengabarkan bahwa ada seorang yang bersepeda keliling indonesia ingin bertemu. Saya kaget. Di milis Bike To Work (B2W) memang ramai membahas tentang perjalanan keliling Indonesia menggunakan sepeda, Sepasang suami istri tuna rungu. Tapi saya sungguh tidak menyangka mereka berdua akan sampai di Sape, Kecamatan paling ujung di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Bergegas kami keluar Rumah makan, menghidupkan motor dan memacu agak cepat menuju rumah Om Didi.Setelah sampai di depan rumah 2 orang menunggu kedatangan kami. Seorang pria tinggi besar yang ternyata pekerja hotel dan seorang cewek hitam manis menyalami kami berdua. Saya langsung menebak cewek itu adalah Rahma, lengkapnya Rahma Anggraeni Chibro, mantan atlet khusus penyandang cacat nasional untuk kategori lari 100 meter yang bersuamikan Yanura, seorang tuna rungu juga.
Pertemuan pada saat itu berlangsung cepat, dengan suasana yang tidak nyaman karena listrik padam. Rahma hanya ingin mencari tahu keberadaan kami berdua sebagai perwakilan B2W Bima. Saat berbicara dengan Rahma, kami saling menebak apa yang ingin disampaikannya. Jelas kami kesulitan memahami perkataannya, tetapi dengan bahasa isyarat tertentu, akhirnya disepakati kami bertemu di Hotel dimana mereka berdua menginap pada pukul 20.00 WITA.
Pada waktu yang disepakati, kami pun bertemu. Saya berkenalan dan menyalami Yanura, Pria tinggi, berkulit putih dengan wajah yang tampan menyambut dengan hangat. Om Didi duduk bercerita dengan mereka, sedangkan saya melihat kondisi sepeda yang mereka gunakan dan mengecek kerusakan-kerusakan yang ada. Alhamdulillah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan keadaan sepeda, walapun ada satu jeruji yang agak bengkok.
Setelah memastikan semua aman, saya bergabung mendengarkan cerita, suka dan duka perjalanan mereka menempuh rute yang sangat panjang. Rute Jawa-Bali merupakan rute yang mengasyikkan, tetapi saat memasuki ujung barat Pulau Sumbawa, ada kekhawatiran yang menghinggap, karena sepanjang jalan, yang mereka lihat hanya hutan yang sepi, dengan rumah penduduk yang jarang dan saling berjauhan serta jalan yang menanjak dan menurun dengan kondisi rusak dan sempit. Tidak hanya itu, mereka bercerita saat dilepas oleh Menteri Dalam Negeri, saat bertemu dengan rekan-rekan B2W yang pada daerah yang mereka lewati, bertemu Gubernur, Walikota/Bupati. Rekaman hasil perjalanan, mereka perlihatkan dengan suka cita, baik foto-foto maupun surat-surat keterangan dari pemimpin-pemimpin daerah setempat. Sungguh membuat bangga dan terharu!.
Suasana bertambah hangat, akrab. Kami sudah agak bisa memahami apa yang mereka ucapkan. Bercerita panjang lebar, tentang keluarga dan kehidupan, sampai pada akhirnya kami harus pamit untuk pulang karena waktu yang sudah semakin malam. Keterbatasan memang tidak menjadi penghalang untuk meraih apa yang diinginkan, cerita-cerita heroik semacam ini, dari dulu hanya saya tonton di acara semacam Kick Andy. Tetapi sekarang, dihadapan saya, sepasang suami istri tangguh memaparkan apa yang telah mereka raih. Berkeliling Indonesia dengan semangat dan tekad yang tinggi meskipun harus meninggalkan anak tercinta yang baru berumur 4 tahun.
Terima kasih Allah, kami sudah bertemu mereka, mudah-mudahan bisa menjadikan kami untuk pandai bersyukur dengan apa yang telah kami miliki sekarang.

Sensasi Nge-bike

Banyaknya gunung dan jalan yang belum diaspal di kampung halaman saya membuat sensasi bersepeda lebih terasa. Apalagi yang saya gunakan memang sepeda khusus untuk daerah-daerah seperti itu. Menunggangi sepeda MTB (Mountain Bike) dijalan yang berlumpur dan berbatu mampu memberikan kesan tersendiri dibadingkan saat saya mengendarai motor.

Jika ada waktu luang setelah kegiatan B2W, saya selalu bersepeda mencari rute-rute yang menantang, biasanya ketempat-tempat yang terpencil dan agak jauh dari kota. Saya selalu bersama Om Didi, rekan senasib sepenanggungan dalam bersepeda. Asyiknya, sambil menikmati pemandangan, mengayuh sepeda dengan santai membuat otak rilex. Kalau sedang kumat, tak peduli hujan, genjot terus. Jadi ingat waktu kecil kalau begini.

Yang paling membuat ngos-ngosan dan jantung berdetak cepat adalah, saat mencoba genjot ke puncak gunung. Tentu untuk awalnya mencari gunung yang tanjakannya tidak terlalu ekstrim untuk tempat latihan. Seperti bisa dilihat pada foto, saat saya dan om Didi, berusaha menaklukkan tanjakan di sebuah kaki gunung yang jalannya baru dibuat.
Setelah beberapa kali mencoba dan berusaha dengan sekuat tenaga, akhirnya bisa juga ditaklukkan

Sensasi Nge-bike

Banyaknya gunung dan jalan yang belum diaspal di kampung halaman saya membuat sensasi bersepeda lebih terasa. Apalagi yang saya gunakan memang sepeda khusus untuk daerah-daerah seperti itu. Menunggangi sepeda MTB (Mountain Bike) dijalan yang berlumpur dan berbatu mampu memberikan kesan tersendiri dibadingkan saat saya mengendarai motor.

Jika ada waktu luang setelah kegiatan B2W, saya selalu bersepeda mencari rute-rute yang menantang, biasanya ketempat-tempat yang terpencil dan agak jauh dari kota. Saya selalu bersama Om Didi, rekan senasib sepenanggungan dalam bersepeda. Asyiknya, sambil menikmati pemandangan, mengayuh sepeda dengan santai membuat otak rilex. Kalau sedang kumat, tak peduli hujan, genjot terus. Jadi ingat waktu kecil kalau begini.

Yang paling membuat ngos-ngosan dan jantung berdetak cepat adalah, saat mencoba genjot ke puncak gunung. Tentu untuk awalnya mencari gunung yang tanjakannya tidak terlalu ekstrim untuk tempat latihan. Seperti bisa dilihat pada foto, saat saya dan om Didi, berusaha menaklukkan tanjakan di sebuah kaki gunung yang jalannya baru dibuat.
Setelah beberapa kali mencoba dan berusaha dengan sekuat tenaga, akhirnya bisa juga ditaklukkan

KOMPONEN-KOMPONEN SEPEDA


Bearings:
Bola besi baja kecil yg biasa disebut pelor, berputar didalam dinding hub, bottom bracket, dan headset.
Bottom Bracket:
Terletak pada cangkang botom bracket, ini adalah bearing tempat dimana crank berputar
Chainstays:
Batang rangka yg dimulai dari cangkang bottom bracket sampai  anting2 rd (rear dropout)
Chainring/Chainwheel:
Piringan bergerigi yg berada pada Chainset (komponen crank),

Chainset:
Satu set unit termasuk crank, chainring dan bottom bracket
Crank:
Lengan ayun sepanjang/dari pedal hingga as pada bottom bracket
Derailleur:
Sebuah mekanis apa bila shifter digerakan, drailleur akan mendorong rantai searah as gigi/gir
Front Derailleur:
Sebuah mekanis yg membuat rantai perbindah searah as chainwhell (3 buah gigi/gir depan)
Rear Derailleur:
Sebuah mekanis yg membuat rantai perbindah searah as caset (8~9 buah gigi/gir belakang)
Disc Brake:
Rem yang berkerja pada piringan yg terpasang pada hub, bukan pada rim.
V-brake
Salah satu jenis rem yang berkerja pada rim
Flange:
Bagian hub yg menyerupai piringan (di kiri/anan) berlubang-lubang dimana jeruji roda terkait.
Freewheel:
Sebuah mekanis yg terpasang pada hub belakang, mekanis ini memungkinkan roda tetap berputar walaupun kayuhan berhenti.
Hub:
Sebuah mekanis yg ditempati bearing dan jari-jari, terletak pada pusat roda
Grip Shift:
Ditemukan oleh SRAM pada thn 1987, shifter ini terpasang pada handle bar, sipengendara cukup memuntir shifter kedepan/kebelakang untuk memilih posisi gir, “moto style”
Trigger Shifter:
Satu jenis shifter, yg terpasang pada handle bar, dan pengendara harus menggunakan jari jempol dan telunjuknya untuk memilih posisi gir. (dari berbagai sumber)

KOMPONEN-KOMPONEN SEPEDA


Bearings:
Bola besi baja kecil yg biasa disebut pelor, berputar didalam dinding hub, bottom bracket, dan headset.
Bottom Bracket:
Terletak pada cangkang botom bracket, ini adalah bearing tempat dimana crank berputar
Chainstays:
Batang rangka yg dimulai dari cangkang bottom bracket sampai  anting2 rd (rear dropout)
Chainring/Chainwheel:
Piringan bergerigi yg berada pada Chainset (komponen crank),

Chainset:
Satu set unit termasuk crank, chainring dan bottom bracket
Crank:
Lengan ayun sepanjang/dari pedal hingga as pada bottom bracket
Derailleur:
Sebuah mekanis apa bila shifter digerakan, drailleur akan mendorong rantai searah as gigi/gir
Front Derailleur:
Sebuah mekanis yg membuat rantai perbindah searah as chainwhell (3 buah gigi/gir depan)
Rear Derailleur:
Sebuah mekanis yg membuat rantai perbindah searah as caset (8~9 buah gigi/gir belakang)
Disc Brake:
Rem yang berkerja pada piringan yg terpasang pada hub, bukan pada rim.
V-brake
Salah satu jenis rem yang berkerja pada rim
Flange:
Bagian hub yg menyerupai piringan (di kiri/anan) berlubang-lubang dimana jeruji roda terkait.
Freewheel:
Sebuah mekanis yg terpasang pada hub belakang, mekanis ini memungkinkan roda tetap berputar walaupun kayuhan berhenti.
Hub:
Sebuah mekanis yg ditempati bearing dan jari-jari, terletak pada pusat roda
Grip Shift:
Ditemukan oleh SRAM pada thn 1987, shifter ini terpasang pada handle bar, sipengendara cukup memuntir shifter kedepan/kebelakang untuk memilih posisi gir, “moto style”
Trigger Shifter:
Satu jenis shifter, yg terpasang pada handle bar, dan pengendara harus menggunakan jari jempol dan telunjuknya untuk memilih posisi gir. (dari berbagai sumber)

Bike Care

The Easiest Maintenance

The two surest (and simplest) ways to help your bike work well are to maintain proper tire pressure (it’s marked on the tire) and frequently lubricate your chain (at least every other ride).

Chains and Derailleurs
To tell if a chain has become worn and stretched enough to require replacement, measure it with a foot-long ruler. Put the first mark on the center of any rivet, then look at the 12-inch mark. On a new chain it will also be on the center of a rivet. On a worn one, it will fall an eighth of an inch or more short of a rivet.

A simple fix for a skipping drivetrain: Turn the barrel adjuster on the rear derailleur cable 1/2 to a full turn.

When you hear the disconcerting scrunch of “chain sucking” and it feels as if a stick has been jammed through your chainrings, stop pedaling immediately. Either get off and turn the crank backward to free the chain, or learn
to do it while on the fly. Otherwise, you risk damage to the chain, chainring, and chainstay.

Extreme chain angles, such as combining the largest rear cog with the large chainring (or smallest cog with the small chainring), may never run quietly or smoothly, which is one reason they shouldn’t be used. Another reason not to use these gear combinations: It could cause additional wear on your drivetrain.

If possible, lube your chain 24 hours before riding. This will allow the lube’s liquid carrier to evaporate and keep your drivetrain cleaner.

Hose your bike after riding in the rain to remove most of the grit. Then dry it with a towel, and spray lubrication into derailleur and brake pivot points and where cables enter or exit their housings.

The most important rule of mountain bike maintenance is frequent cleaning. Dirt acts as a grinding compound when it gets between moving parts. In muddy or sandy conditions, hose down the bike after every ride.

Wheels and Tires
Carry a patch kit and a spare tube, so you’re not hopelessly stranded if you have two flats on a ride. Also, always carry a spare tube in the rain. Flats occur more frequently, and it’s difficult to apply patches when it’s wet.

You’ll know that a quick-release is tight enough in the frame if pushing the lever leaves an imprint on your palm.

Beware of using a gas station’s air pump. It quickly delivers a large volume of air, which can blow a bike tire off the rim.

The patches in most tire repair kits have foil on one side and plastic on the other. The surface under the foil goes
against the tube (after glue has been applied) and then the plastic is peeled off.

When a clincher tire is properly installed, its bead (the thin line molded into the rubber just above the rim) should not bob when the wheel spins. However, if the line between the tire’s sidewall and black tread wobbles, don’t worry—most tires have some irregularity and it won’t affect performance.

At least once a month, inspect each tire’s tread for embedded glass or other debris. Potential puncture producers can often be removed before they work through the tire casing to the tube.

When fixing a flat, carefully feel around the inside of the tire. Whatever caused the puncture may still be lodged
through the tread, ready to strike again.

if a spoke breaks, stop right away and remove it or twist it around its neighbors. A flapping rear-wheel spoke can snag the derailleur and cause lots more damage.

Presta valves may stick closed preventing your pump from working. The solution is simple. Before inflating a tire,
unscrew the valve and fully depress it twice, releasing a small amount of air. This frees the valve and allows easy
inflation.

Refine your tire pressure to meet special riding needs. For instance, cornering force and shock absorption are improved by slightly decreasing pressure—about10-15psi. Lower tire pressure is also good for touring or when riding in the rain. A slightly higher pressure—about 10-20 psi—decreases rolling resistance. This is best for a race or time trial where comfort is less important than speed.

Put your tire patch kit and other tools in an old sock before storing them in your saddlebag. This keeps everything organized and prevents rattling. Then, when you need to make a repair, slip the sock over your hand to avoid getting greasy while making repairs.

If your bike is plagued by mysterious clicking sounds that you can’t solve, put a drop of oil on each spoke crossing. Sometimes the noise comes from two spokes rubbing together.

New Bikes
Always take a new bike back for the free 30-day checkup that most shops offer. (Mark the date on your calendar.) The mechanics can spot and correct slight problems that you may not even notice. After this, your bike shouldn’t need service for six months to a year, other than chain and cable lubrication.

Pedals
Silence annoying clicks and creaks in clipless pedals by applying a few drops of oil to the cleat where it contacts the pedal and to the pedal-gripping hardware.

Handlebars and Headsets
Wrap handlebar tape from the end of the bar to the middle to prevent it from unraveling while riding. Secure the ends near the stem with colored electrical tape.

To check for a loose headset, stand beside the bike, squeeze the front brake lever, and rock the bike forward and back. You’ll hear a clunking sound if the headset is loose. Tighten it. Then, check to see if it is too tight by slightly elevating the front wheel and letting the handlebar turn from one extreme to the other. If it sticks in either direction, the headset is tight and should be adjusted or repacked, with new lube.

Weather
Severe cold won’t affect a bike, but if you love it at all, avoid subjecting it to extreme changes in temperature or humidity. For example, if you move your bike from a cold garage to a heated house, the temperature change will cause condensation inside the tubes. This will eventually lead to rust on steel frames. (www.bicycling.com)